Sampang, suarajokotingkir.com – Pernyataan Kapolres Sampang AKBP Hartono yang melarang wartawan menggunakan kata “diduga” dalam pemberitaan menuai kritik tajam.
Sikap tersebut dinilai sebagai bentuk intervensi terhadap kebebasan pers dan mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip jurnalistik.
Polemik ini bermula setelah sebuah media menerbitkan berita tentang dugaan pelepasan mobil pengangkut rokok tanpa cukai oleh Polsek Jrengik dengan imbalan Rp13 juta.
Tak lama setelah berita itu beredar, seorang wartawan berinisial R, yang juga anggota Persatuan Jurnalis Sampang (PJS), mengaku menerima telepon dari Kapolres Sampang.
“Kapolres sempat menelpon saya, tapi saya tidak sempat mengangkat. Setelah saya telpon balik, beliau mempertanyakan kronologi berita yang saya tulis dan menegaskan bahwa wartawan tidak boleh menggunakan kata ‘diduga’,” ujar R, Rabu (12/03/2025).
Pernyataan Kapolres yang mengklaim bahwa kata “diduga” memicu persepsi negatif di masyarakat semakin memicu perdebatan.
Ia bahkan mengaku sudah berdiskusi dengan beberapa jurnalis yang, menurutnya, menyatakan bahwa pemberitaan tidak boleh berasumsi dengan menggunakan kata tersebut.
Menanggapi hal ini, Sekjen Persatuan Jurnalis Sampang (PJS) Imron menilai pernyataan Kapolres sebagai bentuk upaya membatasi ruang gerak jurnalis dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya.
“Ini jelas bentuk intervensi terhadap kerja jurnalistik. Wartawan itu bekerja berdasarkan Kode Etik Jurnalistik, bukan berdasarkan arahan kepolisian. Asas praduga tak bersalah justru menjadi alasan mengapa kata ‘diduga’ diperlukan dalam pemberitaan, karena seseorang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hukum tetap,” tegas Imron.
Menurutnya, pernyataan Kapolres yang menginginkan agar wartawan hanya melaporkan kejadian yang sudah terbukti tanpa ada ruang bagi dugaan, menunjukkan sikap yang kurang memahami fungsi pers.
“Kalau ada dugaan pelanggaran hukum, bukankah seharusnya polisi yang menindaklanjuti? Bukan malah meminta wartawan diam dan tidak menulis? Jika aparat kepolisian merasa keberatan dengan suatu pemberitaan, ada mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang diatur dalam Undang-Undang Pers, bukan dengan menekan jurnalis,” lanjutnya.
Polemik ini semakin mempertegas ketegangan antara kebebasan pers dan upaya aparat dalam mengontrol informasi yang beredar di publik.
PJS mendesak Kapolres Sampang untuk memahami dan menghormati kerja jurnalistik, serta tidak membangun narasi yang justru membatasi peran media dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap aparat penegak hukum.